Menjelang Tahun Pelajaran Baru, mahalnya biaya pendidikan merupakan hal yang sering dibicarakan. Biaya masuk sekolah dari mulau TK sampai Perguruan Tinggi yang mencapai jutaan rupiah dianggap sebagai bentuk komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan yang hanya berpihak kepada orang-orang kaya, high class. Sementara orang-orang miskin terpinggirkan sedemikian rupa dari akses pendidikan yang sebenarnya juga menjadi hak dan kebutuhan hidupnya.
Sekolah yang memasang biaya tinggi serta merta dituduh sebagai sekolah yang matre, borjuis, berorientasi bisnis, dan tuduhan-tuduhan sentimental lainnya. Bahkan pemerintah yang sebenarnya bertanggung jawab untuk memberikan layanan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyatnya, juga bersuara lantang dengan berbagai intimidasi terhadap sekolah berbiaya tinggi. Pemerintah dalam konteks ini hanya bisa melarang sekolah memasang biaya masuk sekolah yang tinggi, tanpa bisa memberikan solusi apalagi secara berani membiayai mereka yang memiliki keterbatasan.
Satu hal yang saya yakin semua orang akan menyepakatinya adalah kita perlu membangun pendidikan yang berkualitas. Kita sudah lelah dengan pendidikan asal-asalan dan rusak-rusakan yang bukannya mencerdaskan bangsa, tetapi justru semakin menenggelamkan anak-anak bangsa ini ke dalam kebodohan dan kelalahan. Tulisan ini bermaksud menghadirkan sebuah perspektif yang boleh jadi abai dari perhatian banyak pihak. Perspektif ini adalah MEMBANGUN PENDIDIKAN (Baca: SEKOLAH) YANG BERKUALITAS MEMERLUKAN BIAYA YANG BESAR. Pertanyaan yang muncul terhadap perspektif ini adalah kepada siapakah biaya besar itu dialamatkan? Atau dengan kata siapa yang bertanggung jawab menghandle dan mengcover biaya tersebut?
Mustahil, atau paling tidak amat sulit, membangun sekolah berkualitas dengan ketersediaan dana yang kecil, minim, dan pas-pasan. Lihatlah komponen-komponen ini, gedung sekolah dan ruang kelas yang nyaman ditempati, lingkungan sekolah yang membuat siswa betah tinggal di sekolah, kesejahteraan guru yang terjamin sehingga perhatiannya hanya tercurah pada mengajar bukannya sibuk dengan pekerjaan sampingan dan serabutan, media dan fasilitas belajar yang membuat belajar semakin mudah dan menyenangkan, dan puluhan komponen lainnya. Bisakah semua itu dipenuhi dengan biaya sedikit? (Ah…orang awam pun pasti akan mengatakan, TIDAK!)
Permasalahannya selama ini adalah pemenuhan atau recovery terhadap BIAYA BESAR yang memang diperlukan untuk membangun sekolah berkualitas tersebut hanya ditempuh melalui satu pintu, yaitu orang tua siswa sebagai costumer, pengguna jasa sekolah. Ini lah sesungguhnya akar dari biaya sekolah yang dinilai tinggi tersebut. Mengapa biaya besar itu hanya dibebankan kepada orang tua siswa? Lalu, salahkah sekolah yang mengambil cara demikian?
Pembebanan biaya besar yang memang dibutuhkan oleh sekolah itu harus dilihat secara bijak dan komprehensif. Tidak emosional, apalagi sentiment dan kecurigaan. Saya melihat ada beberapa faktor yang membuat sekolah hanya membebankan biaya besar tersebut kepada orang tua
1. Komite sekolah yang tidak berfungsi sebagai mitra sekolah. Di banyak tempat komite sekolah justru memposisikan dirinya sebagai rival sekolah. Padahal semestinya kehadiran komite sekolah memberikan angina segar dalam fundrising dan networking, penggalian dana dan merajut jejaring seluas mungkin.
2. Sekolah tidak memiliki back up dana dalam bentuk usaha ekonomi sekolah. Selama ini sekolah benar-benar menyandarkan hidupnya hanya kepada Iuran bulanan siswa.
3. Kebijakan pemerintah yang setengah hati dalam mewujudkan pendidikan murah berkualitas. Pendidikan murah selama ini dipahami sebagai biaya kecil untuk membangun sekolah. Padahal semestinya pendidikan tetap perlu biaya besar yang sebagian besar dari pos pembiayaan itu menjadi tanggung jawab atau disubsidi pemerintah. Adalah pemerintah yang tidak cerdas, bila menekan sekolah untuk memurahkan –bahkan menggratiskan- biaya pendidikan, sementara pemerintah sendiri tidak secara nyata memberikan bantuan yang jelas-jelas dibutuhkan sekolah.
SOLUSI
Bisakah Sekolah Berbiaya Besar tapi Tidak Mahal? Atau Bisakah Sekolah Berkualitas dibangun dengan Biaya Murah? Namun perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa Tidak Mahal atau Murah dalam pertanyaan di atas adalah dalam pengertian biaya yang harus dikeluarkan orang tua siswa. Dengan merujuk pada akar masalah yang telah diidentifkasi pada uraian terdahulu, maka sesungguhnya mewujudakan sekolah dengan budgeting yang besar tetapi bisa diakses dengan murah oleh orang tua siswa sangatlah mungkin.
Langkah pertama yang harus ditempuh oleh setiap sekolah adalah mengoptimalkan peran komite sekolah. Peran komite sekolah ini sebagai representasi dari Society based School atau sekolah berbasis masyarakat. Sekolah melalui perantara komite sekolah benar-benar memberdayakan masyarkat pengguna jasanya. Ada dua hal yang dilakukan komite sekolah, pertama menjalin jaringan kemitraan seluas mungkin (networking). Networking inilah yang akan menjadi pintu gerbang alternatif sumber dana (fundrising). Sebagai contoh komite menjalin kemitraan dengan sebuah perusahaan untuk mengcover pengadaan komputer sekolah.
Langkah kedua sekolah harus kreatif dalam menghidupi dirinya sendiri dengan cara membangun perekonomian sekolah. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan peran koperasi sekolah dalam pemenuhan kebutuhan semua warga sekolah, selengkap mungkin. Uang jajan siswa 100 % harus masuk menjadi keuntungan sekolah, demikian kurang lebih paradigma yang diusung. Lebih lanjut sekolah bisa membuka usaha-usaha lainnya yang relevan. Hal seperti ini telah banyak dicontohkan oleh pesantren-pesantren yang langkah-langkahnya bisa ditiru dan diterapkan oleh sekolah.
Langkah ketiga merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam upaya membangun sekolah murah tawaran berikut patut menjadi pemikiran pemerintah.
1. Pemerintah secara berani mengalokasikan anggaran untuk pendidikan. Minimal alokasi itu adalah 20 % dari total anggaran sebagai diamanatkan Undang-Undang. Bagi pemerintah daerah hal ini ditunjukkan dengan program-program khusus untuk membantu pembiayaan sekolah, bahkan sampai pada langkah menggratiskan sekolah karena pemerintah telah mengcover seluruh pembiayaannya. Hal ini tidak lah sulit karena beberapa daerah di negeri ini telah dengan sukses mempeloporinya.
2. Bila pemerintah memiliki PAD yang terbatas, maka pemerintah bisa menggalang kekuatan korporasi-korporasi yang ada di daerahnya. Program CSR (Corporate Social Responsibility) yang merupakan kewajiban setiap perusahaan di bicarakan dengan pemerintah daerah dan secara khusus diarahkan untuk memajukan pendidikan daerah.
Bila skenario di atas berjalan dengan baik, maka simulasi berikut ini dapat menggambarkan betapa SEKOLAH BERKUALITAS YANG PERLU BIAYA BESAR BISA DIAKSES DENGAN BIAYA MURAH OLEH MASYARAKAT. Kita umpamakan sekolah A membutuhkan anggaran sebesar 500 juta untuk satu tahun pelajaran. Anggaran 500 juta ini dibagi ke dalam 5 sumber dana,
a. sekolah (usaha sekolah) : 10 %
b. subsidi pemerintah : 40 %
c. CSR korporasi : 15 %
d. Donasi dari networking Komite Sekolah : 20 %
e. Orang tua Siswa : 15 %
Dari asumsi tersebut maka orang tua hanya menanggung 15 % biaya yang dibutuhkan atau bahkan lebih rendah lagi. Bayangkan seandainya empat skenario pertama tidak berjalan, betapa mahalnya biaya pendidikan harus dibayar oleh masyarkat!!!
Rabu, 11 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar