Hasil Pencarian Anda

Silahkan Tik Yang Anda Cari

Senin, 23 Februari 2009

PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS (Part One)

A. PENDAHULUAN
Pergulatan pemikiran yang selalu mengiringi perjalanan negara ini tak pernah bisa melepaskan diri dari perdebatan seputar relasi agama dan negara. Semenjak Indonesia merdeka, perdebatan ideologis menyangkut relasi tersebut mengemuka dengan cukup sengit.

Setelah disepakati Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara, perdebatan itu mewarnai juga produk-produk hukum yang lahir sebagai kebijakan politik negara. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah produk kebijakan tersebut yang sensitif dengan isu-isu sikap agama. Karenanya, semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur Pendidikan Nasional, isu pendidikan agama –sebagai refleksi sikap pemerintah terhadap agama- menjadi diskusi dan perdebatan yang terus belanjut sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 dan –untuk saat ini- berakhir dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Makalah ini secara khusus akan menganalisa posisi pendidikan Islam baik secara kelembagaan maupun secara normatif menyangkut nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan Islam melalui analisa terhadap pendidikan keagamaan dan pendidikan agama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Analisa terhadapnya akan dilakukan dengan pendekatan content analysis. Yang dengan cara membaca secara seksama naskah Undang-Undang tersebut plus Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, untuk melacak pernyataan-pernyataan yang menyiratkan atau menegaskan concern Undang-Undang ini terhadap pendidikan agama maupun pendidikan keagamaan. Hasil pelacakan tersebut kemudian dikritisi dengan teori dan pandangan para pakar tentang pendidikan Islam, dan dikonfirmasikan dengan fakta pelaksanaan pendidikan Islam dalam tataran empirik.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisa tersebut adalah concern pemerintah yang sangat tinggi terhadap pendidikan agama dan keagamaan. Konsep yang ideal tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut ikut menopang dan menguatkan pendidikan Islam untuk banyak memberikan andil dalam menyukseskan pendidikan nasional. Untuk menyimpulkannya penulis menggunakan istilah religiusitas. Sayangnya, secara faktual dan empirik, concern dan konsep ideal tersebut belum mewujud menjadi kenyataan. Dengan demikian maka, permasalahan yang disodorkan makalah ini adalah di manakah sesungguhnya kunci penentu kemajuan pendidikan Islam ini terletak setelah secara yuridis formal mendapat dukungan yang kuat?

READ MORE - PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS (Part One)

Jumat, 20 Februari 2009

DOWNLOAD EBOOK SUPERVISI

E-BOOK SUPERVISI GRATIS BUAT ANDA

Salah satu langkah penting dalam PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN adalah PENGUKURAN. Untuk bisa mengukur tingkat pencapaian MUTU yang telah dirumuskan maka diperlukan sebuah upaya pengawasan dan evaluasi. SUPERVISI adalah langkah strategis untuk menuju arah tersebut sehingga SUPERVISI merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap lembaga pendidikan.

Untuk melaksanakan SUPERVISI yang baik, maka lembaga supervisor harus memiliki INSTRUMEN SUPERVISI yang terumuskan dengan baik dan jelas sehingga pengawasan dan penilaian dapat dilaksanakan dengan bermutu juga.

Nah, bagi Anda yang merasa memerlukan INSTRUMEN SUPERVISI tersebut,




BLOG LPMP ini menyediakan E-BOOK SUPERVISI GRATIS buat Anda. EBOOK ini disusun berdasarkan 8 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN. Bila Anda bukan guru atau kepala sekolah Anda bisa menyumbangkan E-BOOK ini kepada sekolah tempat anak, adik, keponakan, dan tetangga Anda belajar. Insya Allah bermanfaat.

Silakan KLIK DAN DOWNLOAD DI SINI
READ MORE - DOWNLOAD EBOOK SUPERVISI

Kamis, 19 Februari 2009

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART SIX (CHARACTER EDUCATION QUALITY STANDARD)

F. Kunci Sukses Pendidikan Karakter
1. Dari Knowing Menuju Doing
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.
Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah kognitif mereka.
Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).
Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Moral Acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa. Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.
2. Identifikasi Karakter
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu – dan seharusnya- mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar perilaku individu. Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah; 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai dan persatuan
Sementara Character Counts di Amerika mengidentfikasikan bahwa karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; 1) dapat dipercaya (trustworthiness), 2) rasa hormat dan perhatian (respect), 3) tanggung jawab (responsibility), 4) jujur (fairness), 5) peduli (caring), 6) kewarganegaraan (citizenship), 7) ketulusan (honesty), 8) berani (courage), 9) tekun (diligence) dan 10) integritas
Kemudian Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al-Asmâ al-Husnâ. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari nama-nama Allah itu, Ari merangkumnya dalam 7 karakter dasar, yaitu jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja sama.
3. Sebelas Prinsip Pendidikan Karakter
Character Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang sama
9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART FIVE (CHARACTER EDUCATION IN ISLAM)


E. Pendidikan Karakter dalam Dunia Pendidikan Islam
Dalam jurnal internasional, The Journal of Moral Education, nilai-nilai dalam ajaran Islam pernah diangkat sebagai hot issue yang dikupas secara khusus dalam volume 36 tahun 2007. Dalam diskursus pendidikan karakter ini memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karakter. Moral dan nilai-nilai spiritual sangat fundamental dalam membangun kesejahteraan dalam organisasi sosial mana pun. Tanpa keduanya, maka elemen vital yang mengikat kehidupan masyarakat dapat dipastikan lenyap.
Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang dianggap halal dan haram dalam Islam, dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik. Dalam Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhamad saw. Ketiga nilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam.
Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidikan karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis. Pendekatan semacam ini membuat pendidikan karakter dalam Islam lebih cenderung pada teaching right and wrong. Atas kelemahan ini, pakar-pakar pendidikan Islam kontemporer seperti Muhamad Iqbal, Sayyed Hosen Nasr, Naquib Al-Attas dan Wan Daud, menawarkan pendekatan yang memungkinkan pembicaraan yang menghargai bagaimana pendidikan moral dinilai, dipahami secara berbeda, dan membangkitkan pertanyaan mengenai penerapan model pendidikan moral Barat.
Hal penting yang dapat disimpulkan dari paparan di atas adalah kekayaan pendidikan Islam dengan ajaran moral yang sangat menarik untuk dijadikan content dari pendidikan karakter. Namun demikian pada tataran operasional, pendidikan Islam belum mampu mengolah content ini menjadi materi yang menarik dengan metode dan teknik yang efektif.
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART FOUR (THE DIFFERENCE OF CHARACTER EDUCATION, MORAL EDUCATION, VALUE EDUCATION, ETHIC EDUCATION, AND AKHLAK EDUCATION)


D. Pendidikan Karakter, Pendidikan Moral dan Pendidikan Akhlak; Adakah Perbedaan?
Setelah urgensi pendidikan karakter dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah menjadi nyata dan jelas dengan uraian-uraian di muka, bagian in bermaksud mempertegas konsep pendidikan karakter yang belum dijelaskan secara eksplisit.
Sepintas lalu tiga terminologi di atas seperti bermakna sama. Namun ternyata diselidik dari akar filosofis, kesan yang terkandung dan aplikasinya ketiga terminologi tersebut memiliki perbedaan yang karenanya harus dibedakan. Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Setelah itu nilai-nilai pendidikan menjadi lebih umum. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah. Sedangkan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Berbeda dengan itu, pendidikan akhlak sebagaiman dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, Al-Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji , menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak dimaksud masih tetap cenderung pada pengajaran right and wrong seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam belum optimal. Atau berdasar analisis terdahulu, boleh jadi pendidikan akhlak ini sebenarnya juga terabaikan dari dunia pendidikan Islam.
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukai, The Retrun of Character Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Menurut Ratna Megawangi, pembedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di-drive oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat anatar karakter dengan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter meiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama.
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART THREE (THE HISTORY OF CHARACTER EDUCATION)

C. Sejarah dan Perjalanan Pendidikan Karakter
Merujuk kepada pendapat para tokoh, pemimpin dan pakar pendidikan dunia yang menyepakati pembentukan karakter sebagai tujuan pendidikan, maka sejarah pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah. Menurut analisis Thomas Lickona sebagai dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan jargonnya semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter. Paham personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter. Sementara itu, sekularisasi masyarakat telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama. Hal ini terutama banyak dialami oleh negara-negara maju tapi sekuler. Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah publik, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik.
Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern. Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan, yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian semasa pemerintahan Orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib tetapi juga penataran wajib. Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART TWO (SCHOOL GOAL)

B. Pendidikan Karakter sebagai Prioritas Pendidikan
Tak dapat dipungkiri, sekolah memiliki pengaruh dan dampak terhadap karakter siswa, baik disengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter. Selanjutnya para pakar pendidikan terutama pendidikan nilai, moral atau karakter, melihat hal itu bukan sekedar tugas dan tanggung jawab tetapi juga merupakan suatu usaha yang harus menjadi prioritas. Sudarminta misalnya, mencatat tidak kurang dari tiga alasan pentingnya pendidikan moral di sekolah; 1) bagi siswa sekolah dasar dan menengah, sekolah adalah tempat dalam proses pembiasaan diri, mengenal dan mematuhi aturan bersama dan proses pembentukan identitas diri, 2) sekolah adalah tempat sosialisasi ke dua setelah keluarga. Di tempat ini para siswa dirangsang pertumbuhan moralnya karena berhadapan dengan cara bernalar dan bertindak moral yang mungkin berbeda dengan apa yang selama ini dipelajari dari keluarga, 3) pendidikan di sekolah merupakan proses pembudayaan subyek didik. Maka sebagai proses pembudayaan seharusnya memuat pendidikan moral.
Sementara itu, Berkowitz dan Melinda menambahkan 3 alasan mendasar lainnya. 1) Secara faktual, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sekolah berpengaruh terhadap karakter siswa. 2) Secara politis, setiap negara mengharapkan warga negara yang memiliki karakter positif. Banyak hal yang berkaitan dengan kesuksesan pembangunan sebuah negara sangat bergantung pada karakter bangsanya. Demokrasi yang diperjuangkan di banyak negara, sukses dan gagalnya juga tergantung pada karakter warga negara. Di sinilah, sekolah harus berkontribusi terhadap pembentukan karakter agar bangsanya tetap survive. 3) Perkembangan mutakhir ternyata menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang efektif mampu mendorong dan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan akademik sekolah. Dengan kata lain, pendidikan karakter juga dapat meningkatkan pembelajaran. Dapat ditambahkan di sini, bahwa fenomena pengasuhan dalam keluarga (parenting) sekarang ini banyak yang sudah menyalahi peran utama keluarga sebagai media sosialisasi utama yang mengenalkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan kepada anak. Bermunculannya tempat penitipan anak (child care) misalnya, menunjukkan banyak keluarga yang sudah kehilangan waktu untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Argumen tajam lainnya disampaikan oleh Robert W. Howard. Menurutnya, sekalipun perdebatan seputar tujuan pendidikan tidak pernah berakhir, namun upaya mempersiapkan generasi baru dari warga negara merupakan suatu tujuan yang telah disepakati. Kewarganegaraan ini mempunyai dua dimensi politik dan sosial, yang keduanya menyatu dan terlibat dengan isu-isu moral. Tidaklah mungkin meninggalkan isu-isu moral ini di luar jangkauan sekolah. Sebagai konsekuensinya, pendidikan moral haruslah menjadi salah satu dari dua tujuan umum pedidikan; yang tujuan lainnya adalah mengajarkan kecerdasan dan kecakapan akademik (teaching academic content and skills).
Argumen-argumen di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah tidak dapat menghindar dari pendidikan karakter. Sekolah pun tidak dapat mengupayakan dan menerapkannya dengan tanpa kesungguhan. Sekolah harus meyikapi pendidikan karakter seserius sekolah menghadapi pendidikan akademik, karena sekolah yang hanya mendidik pemikiran tanpa mendidik moral adalah sekolah yang sedang mempersiapkan masyarakat yang berbahaya. Kesimpulan serupa juga ditegaskan dalam Sister Mary Janet dan Ralp G. Chamberlin. Menurutnya, sekolah memiliki yang sangat signifikan dalam mengajarkan moral dan nilai-nilai agama.
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART ONE (SCHOOL RESPONSIBILITY)

A. Tanggung Jawab Sekolah
Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu Muhamad saw, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamnya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemankan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhamad saw, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, dengan tesis pendidikan adalah pembudayaan, juga ingin menyampaikan hal yang sama dengan tokoh-tokoh pendidikan di atas. Menurutnya, pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Sementara Mardiatmadja menyebut pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia.
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas ingin menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap jaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang dsepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan. Bila pendidikan senyatanya bertujuan seluhur itu, lalu bagaimana dengan implementasi dan realitas yang terjadi? Sejalan kah usaha-usaha pendidikan yang terjadi selama ini dengan tujuan mulianya? Ini lah yang mengusik banyak para pakar kelas dunia, sehingga bermunculan lah berbagai tawaran pendidikan alternatif. Hal yang paling menggelisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah kenyataan bahwa kompetensi yang ditampilkan para siswa sebagai out put pendidikan sangat kontradiktif dengan tujuan pendidikan.
Dalam konteks keindonesiaan, pemandangan berikut ini menegaskan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Berita bahwa beberapa gadis SMU telah menjadi "anak ayam" dimana guru menjadi mucikarinya di sebuah SMU di Cirebon telah membuat heboh masyarakat Indonesia belakangan ini. Bahkan mereka melakukan tindakan yang amoral lagi. Dan, menurut banyak berita, banyak siswi SMU di berbagai kota besar, ternyata berprofesi ganda, bukan hanya sebagai siswi, tetapi juga pelacur kelas atas. Aspek kesucian hidup dan pergaulan sudah disisihkan ke tong sampah, sepertinya. Berbagai macam psikotropika dan narkotika juga begitu banyak beredar di kalangan anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli juga adalah orang-orang yang masih berstatus siswa. Mereka menjadi pengedar dan sekaligus juga pengguna. Kehidupan yang rusak seperti ini kerapkali disertai dengan berbagai pesta yang berujung pada tindakan amoral di kalangan remaja. Anak-anak remaja ini tidak lagi mempertimbangkan rasa takut untuk hidup rusak, merusak nama baik keluarga dan masyarakatnya. Berbagai tawuran anak sekolah juga telah membuat resah masyarakat di berbagai tempat di beberapa kota besar di Indonesia. Bahkan, kejadian-kejadian sejenis seringkali sulit diatasi oleh pihak sekolah sendiri, sampai-sampai melibatkan aparat kepolisian dan berujung dengan pemenjaraan, karena merupakan tindakan kriminal yang bisa merenggut nyawa. Sepertinya nyawa manusia tidak ada harganya, hidup itu begitu murah dan rendah nilainya. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat. Daftar ini masih bisa terus diperpanjang dengan berbagai kasus lainnya, seperti pemerasan siswa terhadap siswa lain, kecurangan dalam ujian, dan berbagai tindakan yang tidak mencerminkan moral siswa yang baik. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah hal seperti demikian lepas dari tanggung jawab sekolah sebagai institusi pendidikan?
Marvin W. Berkowitz dan Melinda C. Bier menyebutkan pandangan bahwa sekolah seharusnya fokus pada prestasi akademik (academic achievement) telah diterima secara luas. Pandangan inilah yang membuat sekolah sebagai institusi pendidikan abai terhadap pembentukan karakter siswa. Padahal, sekolah yang dalam ilmu sosiologi diposisikan sebagai media sosialisasi ke dua setelah keluarga, mempunyai peran yang besar dalam mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam pembentukan kepribadiannya. Pemikiran ini memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas, bahwa sekolah ikut bertanggung terhadap kegagalan pembentukan karakter di kalangan para siswanya. Jawaban ini bukan upaya mengkambinghitamkan sekolah, karena memang tanggung jawab utama pembentukan karakter sebenarnya terletak pada keluarga. Namun sekolah sebagai institusi pendidikan yang pendidikan itu sendiri adalah pembudayaan, tidak dapat menghindarkan diri dari upaya pembentukan karakter positif bagi anak didiknya. Dalam laporan tahunan Character Education Partneship bahkan disebutkan, bahwa pendidikan karakter bagi sekolah bukan lagi sebagai sebuah opsi, tetapi suatu keharusan yang tak terhindarkan.
Kesimpulan yang dapat ditarik paparan di atas adalah fakta bahwa banyak siswa sebagai produk pendidikan di sekolah tidak menampakkan kualitas moral dan karakter yang baik. Dalam hal ini, sekolah memiliki tanggung jawab dan peran besar dalam menolong maupun mencegah hal tersebut. Maka pertanyaan berikutnya adalah: Bisakah pendidikan karakter menjadi prioritas di sekolah?

BERSAMBUNG
READ MORE - PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

WHO IS SMART STUDENT

SECERDAS APAKAH KITA
MEMAHAMI KECERDASAN SISWA KITA???

Bila Anda dihadapkan pada gambaran berikut, siswa manakah yang menurut Anda adalah anak yang cerdas
1. Si A selalu mendapat nilai 9 dalam pelajaran Matematika. Ia juga terpilih sebagai peserta olimpiade. Ia kurang menyenangi pelajaran IPS dan Agama.
2. Si B tidak pernah mendapat nilai lebih dari 6 dalam pelajaran Sains (Matematika dan IPA). Ia sangat menyenangi pelajaran Agama. Pada waktu istirahat dialah orang pertama masuk mesjid untuk shalat Dluha.
3. Si C terampil bermain basket dan sepak bola. Ia terpilih sebagai Kapten Kesebelasan dan menjadi Top Scorrer. Hampir di semua pelajaran ia selalu masuk daftar remedial
4. Si D terpilih sebagai vokalis dalam sebuah grup musik di sekolah. Dalam kegiatan belajar di kelas ia biasa-biasa saja. Rangkingnya adalah 15 dari 30 siswa.
5. Si E tidak pernah terlihat aktif bertanya ataupun menjawab di kelas. Bila temannya ada yang memiliki masalah atau ada yang berantem, dia lah teman curhat yang paling disukai.
6. Si F selalu membawa buku cerpen, komik, atau novel ke dalam kelas. Seringkali ia ditegur oleh guru karena ketahuan membaca buku-buku tersebut saat belajar. Di buku hariannya ia memiliki 10 cerpen yang menyentuh perasaan dan 20 puisi yang indah.
7. Si G selalu mendapat nilai terkecil dalam semua pelajaran. Dalam tiap bulannya selalu saja ada 1 hari tercatat dia tidak masuk kelas tanpa alasan yang jelas. Dia adalah satu-satunya siswa yang bisa mengendarai mobil.
8. Si H selalu tidak bergairah belajar di kelas dalam semua pelajaran. Dalam kegiatan ekskul dia adalah ketua PMR. Dia terampil melakukan P3K.
9. Pelajaran favorit si I adalah IPS. Ia ingin menjadi ahli ekonomi katanya. Nilai IPS nya ternyata paling besar mengalahkan temannya yang rangking 1, walaupun ia sendiri tidak masuk 10 besar.
10. Dalam rapat kenaikan kelas, si J hampir diputuskan tidak naik kelas karena kebanyakan nilainya yang tidak mencapai KKM. Ia jarang masuk kelas. Ia sering mendapat panggilan pidato dan membaca al-Qur’an atau mengikuti perlombaannya.

Ada tiga kemungkinan jawaban yang Anda berikan
1. Anda memilih salah satu dari 10 siswa tersebut
2. Anda kebingungan memilihnya
3. Anda memilih semuanya sebagai anak cerdas

1
Bila kemungkinan pertama yang Anda pilih, maka Anda adalah seorang guru yang menganggap kebanyakan atau mayoritas siswa Anda adalah anak-anak yang kurang cerdas, tidak cerdas, atau bahkan bodoh. Dengan jawaban yang Anda pilih itu Anda sedang mengatakan bahwa kecerdasan hanya milik sebagian kecil siswa, sementara siswa lainnya tidak. Bayangkan bila ini adalah benar-benar persepsi dan pilihan Anda! Lalu dari mulut Anda pun sangat mudah meluncur vonis “ketidakcerdasan dan kebodohan” untuk mayoritas siswa Anda. Anda pun mungkin kurang semangat mengajar karena menurut Anda kebanyakan siswa di sekolah atau kelas yang Anda ajar tidak cerdas. Hanya dengan siswa yang Anda nilai cerdas lah Anda bersimpati dan berempati. Bersikap ramah, murah senyum, selalu menyapa, dan 1001 kemurahhatian lainnya. Sedangkan untuk siswa lain yang tidak cerdas itu, Anda suguhkan sikap-sikap sebaliknya! Lebih parah lagi bila label dan stempel “ketidakcerdasan” yang Anda berikan itu kepada mayoritas siswa itu mempengaruhi pikiran mereka, dan kemudian menjadi konsep diri mereka. Mereka pun akhirnya menilai diri mereka tidak cerdas, tidak mampu, dan cap negatif lainnya. Akibatnya, dalam kegiatan belajar di kelas mereka belajar tanpa semangat, minder, kurang motivasi.

Itulah yang sangat mungkin terjadi bila Anda hanya memilih satu siswa sebagai siswa cerdas. Kecerdasan bagi Anda adalah tunggal dan tidak berhak dimiliki oleh semua siswa Anda (kasihan sekali mereka, ya). Tulisan ini tidak mengada-ada. Tapi mari kita jujur –walau pun sangat pahit- itulah penilaian kebanyakan guru, di mana pun, terhadap siswanya (Jadi Anda ga sendirian dalam hal ini). Dan seluas itulah pemahaman mereka tentang kecerdasan.

2
Bila kemungkinan kedua yang Anda pilih, maka itu menunjukkan, sebagai guru Anda tidak memiliki pemahaman yang jelas dan tegas tentang kecerdasan. Bila tugas keguruan yang Anda emban bertujuan untuk mencerdaskan siswa, Anda sendiri tidak paham betul apa itu kecerdasan. Anda kebingungan siapa sebenarnya yang cerdas dari siswa-siswa Anda. Tapi ada kabar gembira buat Anda. Anda lebih bagus dari pada pemilih kemungkinan pertama yang mayoritas itu. Anda mungkin sangat bingung, tetapi Anda beruntung tidak menjadi guru yang “mengejek” dan “menghina” siswanya sendiri dengan vonis tidak cerdas. Anda rupanya harus banyak membaca buku untuk membuka cakrawala berpikir Anda. Carilah sebuah buku tentang kecerdasan, kemudian kembalilah untuk memilih dan menjawab pertanyaan dalam tulisan ini.

3
Bila Anda adalah pemilih kemungkinan ketiga, Andalah The Real Teacher bagi siswa-siswa Anda. Anda menganggap semua siswa Anda adalah anak yang cerdas. Kecerdasan menurut Anda adalah sesuatu yang ada pada setiap orang dan bersifat unik. Unik artinya setiap siswa menguasai kecerdasannya sendiri, dan tidak ada yang persis sama dengan yang lainnya. Anda sadar betul bahwa siswa-siswa Anda itu diciptakan oleh Dzat Yang Maha Cerdas, Allah al-Rasyîd. Dan setiap ciptaan Allah pasti mendapat tiupan dari sifat-sifat-Nya. Bukankah sifat kasih sayang ada pada semua makhluk? Bukankah orang yang Anda nilai jahat dan sadis pun tetap memiliki kasih sayang, mungkin kepada anak, isteri, atau pada apa pun. Benar kan? Mengapa? Anda tahu persis jawabannya, karena semua diciptakan oleh Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah al-Rahmân al-Rahîm. Ya, semua ciptaan Allah pasti mendapat percikan dari sifat-sifat yang dimiliki Allah. Inilah makna manusia sebagai khalifah, wakil Allah di muka bumi ini.

Sebagai ciptaan yang Maha Cerdas, Anda memahami bahwa semua siswa Anda telah dikaruniai kecerdasan oleh-Nya. Dengan demikian kecerdasan tidaklah tunggal dan monopoli bagi seseorang. Kecerdasan bisa tampil dalam berbagai bentuk dan wujud. Kecerdasan memiliki banyak wilayah dan ranah. Kecerdasan ada pada diri setiap siswa Anda!!! Sebab hakikat kecerdasan adalah kemampuan seseorang mengaktualkan potensi dirinya untuk membuatnya bisa hidup berarti dan bermakna. Anda sekarang menjadi paham bahwa tugas Anda sebagai guru adalah membantu semua siswa Anda untuk menemukan, membangun, dan mengaktualkan potensi mereka, karena itulah kecerdasan. Bukan memvonis mereka dengan label BODOH. Kecuali bila Anda tertarik untuk beralih profesi menjadi hakim dalam Pengadilan Kecerdasan (di dunia mana ya?).

Bila demikian adanya betapa menyenangkan hari-hari Anda mengajar, karena ke kelas manapun Anda masuk, dengan siswa mana pun Anda bertemu, selalu ada kecerdasan yang Anda lihat. Atau setidaknya, selalu ada kecerdasan yang menantang Anda untuk menemukan dan membacanya. Menyenangkan bukan? Tetapi, Anda mungkin juga akan kebingungan dan kesulitan. Anda merasa sulit ketika siswa yang Anda hadapi ternyata kecerdasannya bukan pada wilayah atau bidang yang Anda ajarkan. Misalnya, Anda mengajar Matematika tetapi kecerdasan siswa itu pada bidang lain. Inilah tantangannnya, dan sekaligus itulah sebenarnya pintu gerbang untuk membuat mereka menyenangi dan menggandrungi mata pelajaran Anda itu. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

Umpamakan siswa nomor 6, si F (lihat hal. 1) ada di kelas Anda, dan Anda adalah guru Matematika. Ia adalah siswa yang selalu membawa buku cerpen, komik, atau novel ke dalam kelas. Anda seringkali menegurnya karena ketahuan membaca buku-buku tersebut saat belajar. Begitu Anda sita buku hariannya, Anda membaca 10 cerpen yang dia tulis sendiri dan 20 puisinya yang indah. Kecerdasan apakah yang anak ini miliki? Anda sudah tahu jawabannya kan? Memarahi dan menghukumnya dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah, karena ketika itu Anda sebenarnya sedang memarahi kecerdasan seseorang. Padahal seharusnya adalah mengakui, menerima, mengagumi bahkan mendukungnya. Nah, cobalah jurus berikut ini.

Jadikanlah pelajaran Matematika sebagai sumber inspirasi dan ide untuk cerpen dan puisi siswa itu. Cobalah dia suruh membuat cerpen tentang pengalamannya belajar Matematika. Atau suruh dia mengungkapkan sebuah materi Matematika dalam bentuk puisi. Atau Anda juga bisa bercerita tentang Einstein yang memiliki banyak kata-kata puitis, padahal dia adalah seorang Fisikawan yang tentu saja jago Matematika. Atau Anda mengcreate 1001 cara lainnya. Dengan cara seperti ini, besar harapan minat dia belajar Matematika menjadi lebih baik dari sebelumnya. Anda jangan dulu mematok nilai dan membandingkannya dengan siswa lain yang wilayah kecerdasannya memang pada Matematika. Bandingkanlah dia dengan masa lalunya sendiri. Bukankah di bandingkan dengan masa lalunya dalam belajar Matematika, dia sekarang sudah maju beberapa langkah ke depan?

Sampai pada titik ini, sangat mungkin dalam benak dan pikiran Anda masih bermunculan kata “Ya sih…tetapi kan…” Bisakah virus “Ya sih,…tetapi kan..” ini hilang?

(Bersambung….)
READ MORE - WHO IS SMART STUDENT

Rabu, 18 Februari 2009

PUISI ANAK PALESTINA

Sungguh sebuah puisi yang sangat menyentuh. Puisi ini ditulis langsung oleh seorang anak Palestina di tempat pengungsiannya. Puisi ini dibacakan oleh seorang siswi SD Al-Muhajirin dalam Aksi Solidaritas Dukung Palestina se Yayasan Al-Muhajirin yang diikuti oleh lebih dari 2000 santri.


Inilah puisinya

PUISI ANAK PALESTINA

Ayah…

Kenapa mereka melarangku untuk bertemu denganmu?

Mereka menahanmu tanpa memberikan kesempatan kepadaku

Untuk memelukmu dan memberikan kesempatan pula

Memeluk ibuku dan menghapus air matanya

Ibu…

Aku melihat air mata menetes dari wajahmu setiap pagi

Tanpa ada yang menghapusnya

Aku hanya bisa mengadu sambil menatap matahari

Dengan pandangan kosong

Ibu…

Kapan aku bisa bertemu dengan ayah

Adakah kepastian aku bertemu dengan ayah, wahai Ibu?

Ayah…

Di mana kamu

Aku rindu kepadamu

Aku ingin air mata ibu yang menetes setiap hari itu

Ada yang menghapusnya

Aku ingin dipelukmu wahai ayah

Ayah…

Di mana kamu?

Mereka terus membangun permukiman milik Yahudi

Aku bunga Palestina

Nomor KTP ku 70 ribu

Sejak pagi aku belum bertemu dengan ayah

Hari raya demi hari raya

Satu per satu anak Palestina lahir

Satu persatu syahid berguguran

Dan selama itu ayahku di balik jeruji penjara Zionis Israel

Di balik tempat yang layak dihuni oleh seorang budak

Ayah…

Kapan datang hari di mana ayahku bebas dari jeruji penjara

Aku ingatkan kepada mereka yang setiap pagi

Bebas mencium pipi anaknya

Aib…jika Anda membiarkan ayahku terus di balik penjara

Tanpa memberikan kesempatan menciumku

Aku ingin ayah

Aku ingin ayah kembali kepadaku


(puisi ini dibacakan oleh Ayat Adib Salim, seorang anak Palestian di camp pengungsian Hussein, 40 km utara Amman, Jordan pada Sabtu, 17 Januari 2009 malam)



READ MORE - PUISI ANAK PALESTINA

DOWNLOAD E-BOOK GRATIS METODE CEPAT BACA ARAB GUNDUL


Bahasa Arab sangatlah penting bukan hanya untuk kajian keislaman tetapi juga untuk pergaulan internasional sebab bahasa Arab telah menjadi bahasa dunia. Selama ini banyak orang yang kesulitan mempelajari bahasa Arab. Kini telah ditemukan sebuah METODE CEPAT BISA BACA ARAB GUNDUL/KITAB KUNING/TEKS ARAB dengan nama METODE QAIDATY. Metode ini telah ditrainingkan di berbagai kota dan terbukti praktis membuat peserta bisa baca arab hanya dengan tempo 3 HARI TRAINING. Siapa pun Anda pasti perlu mengikuti ini.



Kabar baiknya buat Anda, kini MODUL METODE QAIDATY bisa didownload secara gratis dan 100 % HALAL karena ini berdasarkan ijin dan lisensi dari PENULISNYA SENDIRI, BUKAN BAJAKAN.

Anda bisa download dan berikan E-BOOK METODE QAIDATY ini kepada Anda sendiri atau siapa pun yang menurut Anda penting mengetahuinya. (Bila hasil download bermasalah silahkan tulis komentar di blog ini dan Insya Allah akan saya kirimkan via email)

SILAHKAN DOWLOAD DI SINI
ImageChef.com - Custom comment codes for MySpace, Hi5, Friendster and more
ANDA JUGA DAPAT MERUBAH BLOG ANDA MENJADI WEBSITE DENGAN DOMAIN DOT.COM (XXXX.BLOGSPOT.COM ATAU XXXX.WORDPRESS.COM, ETC MENJADI XXXX.COM) ASYIK, KAN? GRATIS DI BAWAH INI
Visit this site.


READ MORE - DOWNLOAD E-BOOK GRATIS METODE CEPAT BACA ARAB GUNDUL