Hasil Pencarian Anda

Silahkan Tik Yang Anda Cari

Kamis, 19 Februari 2009

PENDIDIKAN KARAKTER: PRIORITAS YANG TERLUPAKAN

PART FOUR (THE DIFFERENCE OF CHARACTER EDUCATION, MORAL EDUCATION, VALUE EDUCATION, ETHIC EDUCATION, AND AKHLAK EDUCATION)


D. Pendidikan Karakter, Pendidikan Moral dan Pendidikan Akhlak; Adakah Perbedaan?
Setelah urgensi pendidikan karakter dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah menjadi nyata dan jelas dengan uraian-uraian di muka, bagian in bermaksud mempertegas konsep pendidikan karakter yang belum dijelaskan secara eksplisit.
Sepintas lalu tiga terminologi di atas seperti bermakna sama. Namun ternyata diselidik dari akar filosofis, kesan yang terkandung dan aplikasinya ketiga terminologi tersebut memiliki perbedaan yang karenanya harus dibedakan. Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Setelah itu nilai-nilai pendidikan menjadi lebih umum. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah. Sedangkan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Berbeda dengan itu, pendidikan akhlak sebagaiman dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, Al-Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji , menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak dimaksud masih tetap cenderung pada pengajaran right and wrong seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam belum optimal. Atau berdasar analisis terdahulu, boleh jadi pendidikan akhlak ini sebenarnya juga terabaikan dari dunia pendidikan Islam.
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukai, The Retrun of Character Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Menurut Ratna Megawangi, pembedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di-drive oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat anatar karakter dengan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter meiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama.

Tidak ada komentar: