Hasil Pencarian Anda

Silahkan Tik Yang Anda Cari

Senin, 30 Maret 2009

CARUT-MARUT KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA



1. Kurikulum PAI Terlampau Padat Materi

2. Materi Lebih Mengedepankan Aspek Pemikiran Ketimbang Membangun Kesadaran Keberagamaan Yang Utuh

3. Metodologi Kurang Mendorong Penjiwaan Terhadap Nilai-Nilai Keagamaan

4. Terbatasnya Bahan Bacaan Keagamaan

5. Berkembangnya Pemikiran Sekuler Pada Mahasiswa Muslim

6. Munculnya Paham Dan Aliran Sempalan Islam Yang Meresahkan Masyarakat Dari Berbagai Perguruan Tinggi




7. Sitem Pendidikan Kaku Dan Sentralistik

8. Tidak Mempertimbangkan Kenyataan Yang Ada Di Masyarakat

9. Birokrasi Yang Kaku

10. Guru Dan Dosen Bagian Dari Birokrasi

11. Tidak Berorientasi Pada Pembentukan Kepribadian, Lebih Pada Pengisian Otak (Kognitif)

12. Anak Tidak Dididik Kreatif, Inovatif, Dan Rasa Ingin Tahu Yang Tinggi.

Visit this site.

Terhadap semua itu, tidak ada pilihan kecuali PERUBAHAN KURIKULUM. Ya, PERUBAHAN MENDASAR TERHADAP KURIKULUM kita.
READ MORE - CARUT-MARUT KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA

KEY PRINCIPLES FOR QA IN EDUCATION

Quality assurance, or QA for short, refers to planned and systematic production processes that provide confidence in a product's suitability for its intended purpose.


It is a set of activities intended to ensure that products (goods and/or services) satisfy customer requirements in a systematic, reliable fashion. QA cannot absolutely guarantee the production of quality products, unfortunately, but makes this more likely.

Two key principles characterise QA: "fit for purpose" (the product should be suitable for the intended purpose) and "right first time" (mistakes should be eliminated). QA includes regulation of the quality of raw materials, assemblies, products and components; services related to production; and management, production and inspection processes.

Visit this site.

It is important to realize also that quality is determined by the intended users, clients or customers, not by society in general: it is not the same as 'expensive' or 'high quality'. Even goods with low prices can be considered quality items if they meet a market need.


READ MORE - KEY PRINCIPLES FOR QA IN EDUCATION

Minggu, 22 Maret 2009

PENDIDIKAN ISLAM DAL;AM SISDIKNAS (Part Four)

JEJAK RELIGIUSITAS UU SISDIKNAS 2003

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.


Jejak religiusitas itu sesungguhnya telah dapat dilacak jejaknya dari UUD 1945 itu sendiri sebagai induk UU Sisdiknas sebagai berikut. Pertama, memposisikan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagai tujuan pendidikan nasional. Kedua, menempatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak sebagai dasar-dasar kecerdasan yang merupakan visi pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan konsepsi kecerdasan yang diamanatkan adalah kecerdasan yang merambah pada wilayah spiritualitas dan karakter. Dalam rencana strategi Departemen Pendidikan Nasional kecerdasan ini kemudian diturunkan menjadi kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan sosial, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan kinestetis. Ketiga, tiga terminologi kunci tersebut sangat identik dengan domain agama, sehingga secara tidak langsung UUD 1945 ini mengamanatkan pentingnya pendidikan agama sebagai basis dan fondasi pendidikan nasional. Dengan sangat kontras hal ini berbeda dari UUD 1945 sebelum diamandemen yang hanya berhenti pada penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tanpa penyebutan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagai tujuan dan visi pendidikan nasional.

Selanjutnya religiusitas dalam UU Sisdiknas dapat ditemukan pijakan dan akarnya pertama kali dalam konsideran penyusunan UU Sisdiknas tersebut. Inti dari konsideran tersebut adalah perlunya membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pada Bab I tentang Ketentuan Umum yang memaparkan penjelasan konsep sebagai gambaran paradigma yang dianut UU Sisdiknas kita bisa menemukan kembali jejak religiusitas tersebut. Item pertama dari ketentuan itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Spiritual keagamaan dan akhlak mulia sebagai kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dapat dipahami merujuk kepada pendidikan agama. Pendidikan agama lah jalan paling memungkinkan –untuk tidak menyebut satunya- mengantarkan peserta didik memiliki spiritualitas keagamaan dan karakter positif yang terbingkai dalam rumusan akhlak mulia.

Rumusan pendidikan yang mengedepankan spiritualitas ini kemudian menentukan arah tujuan pendidikan nasional. Tentang hal ini dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk kepada pendapat pakar pendidikan Islam, Muhamad Athiyah al-Abrasyi dan Mohamad al-Toumy al-Syaibany tentang tujuan umum yang fundamental bagi pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian maka Pasal 3 ini pun memberikan angin segar bagi pendidikan agama dan keagamaan, utamanya Islam.

Religiusitas dari UU Sisdiknas yang paling kontroversial terdapat pada Bab V Pasal 12 butir a. Pasal ini mengatur hak peserta didik yang wajib diberikan oleh satuan pendidikan. Pasal ini menegaskan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal ini lah yang membuat UU Sisdiknas berkali-kali mengalami penundaan untuk ditandatangani dan disahkan. Point-point penting yang patut digarisbawahi dari pasal ini adalah 1) Pendidikan agama merupakan hak anak didik, 2) Pendidikan agama merupakan kewajiban yang harus dipenuhi satuan pendidikan, 3) Pendidikan agama harus diajarkan sesuai dengan agama anutan peserta didik, dan 4) Pendidikan agama harus diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan kata lain pasal ini mengatur paradigma, materi, dan pendidik dalam pendidikan agama. Mengingat pasal ini memiliki implikasi yang sangat luas dan besar maka pasal ini mengamanatkan lahirnya sebuah peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaannnya. Dari sini lah kemudian lahir Peraturan Pemerintah yang mengatur Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Resistensi terhadap pasal ini muncul dengan dua argumen. Argumen pertama tampil dengan pemikiran bahwa agama merupakan hak asasi manusia yang paling mendalam dan sangat pribadi. Karena itu agama tidak dapat diatur baik oleh negara maupun oleh masyarakat sendiri. Pendidikan keagamaan berarti memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan keyakinan dan peribadatannya sendiri. Atas dasar ini maka pengaturan pendidikan agama ditafsirkan sebagai reduksi terhadap hak asasi warga negara. Argumen ini seirama dengan corak sekuleristik yang beranggapan tidak ada relasi antara ranah agama dengan negara. Agama adalah masalah privasi yang menjadi tanggung jawab individu dan tidak perlu diatur oleh negara. Sementara itu argumen kedua mengemuka dari kelompok yang beranggapan regulasi tersebut merugikan pendidikan agama yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, umat nasrani bersikukuh menolak pasal agama tersebut. Pengelola pendidikan dari kaum nasrani merasa dirugikan dengan pasal sebab kenyataan menunjukkan di sekolah-sekolah Kristen banyak anak-anak umat Islam yang belajar. Undang-Undang ini dinilai tidak menghargai kurikulum yang disusun sekolah sebagai ciri khas.

Dari konsideran yang menginformasikan latar belakang dibentuknya UU Sisdiknas, beralih pada Ketentuan Umum yang memaparkan paradigma pendidikan yang diadopsi, kemudian penegasan Tujuan Pendidikan Nasional, dan akhirnya penguatan hak peserta didik, memetakan dengan sangat jelas kepada kita keberpihakan konsepsional UU Sisdiknas terhadap pendidikan agama. Berikutnya, secara kelembagaan keberpihakan UU Sisdiknas terhadap pendidikan Islam ditunjukkan dalam Pasal 17 tentang Pendidikan Dasar. Ayat 2 dari pasal ini secara eksplisit menyebut Madrasah Ibdtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebagai bentuk pendidikan dasar. Begitu juga tentang Pendidikan Menengah yang diatur dalam pasal 18, Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) diakui eksistensinya secara gamblang. Pengakuan terhadap MI, MTs dan MA yang merupakan model umum dan standar untuk pendidikan Islam, lagi-lagi memperlihatkan keberpihakan UU Sisdiknas terhadap pendidikan agama (baca : Islam). Hal ini berbeda dengan UU Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 yang tidak menyebutkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai bentuk pendidikan dasar. Pengakuan terhadapnya hanya diakui melalui Peraturan Pemerintah dengan memposisikan tersebut sebagai lembaga padanan bagi sekolah umum. MI adalah SD berciri khas Islam, MTs adalah SMP berciri khas Islam, dan MA adalah SMA berciri khas Islam. Lebih dari itu, Majelis Taklim yang merupakan lembaga keagamaan khas Islam juga diakui dalam UU Sisdiknas 2003 sebagai satuan pendidikan nonformal. Di banding dengan Madrasah, sebenarnya keislaman lebih kentara dalam Majlis Taklim karena ia adalah lembaga independen yang melakukan pengajaran dan kajian keislaman, dan terhadap ini diakui eksistensinya dalam UU Sisdiknas.

Pada Bagian Kesembilan dari Undang-Undang Sisdiknas ini religiusitas ditampilkan dalam bentuk akomodasi terhadap Pendidikan Keagamaan sebagai komponen pendidikan nasional. Ada empat hal penting berkaitan dengan Pendidikan Keagamaan yang diatur dalam Pasal 30 dari UU Sisdiknas ini, yaitu kewenangan, fungsi, jalur, dan bentuk pendidikan keagamaan. Tentang fungsi pendidikan keagamaan pasal ini menyebutkan tiga kompetensi yang harus dicapai peserta didik, yaitu 1) memahami nilai-nilai ajaran agama, 2) mengamalkan nilai-nilai ajaran agama, dan 3) menjadi ahli ilmu agama. Lembaga pendidikan Islam yang direpresentasikan untuk mengisi ruang ini adalah pendidikan diniyah dan pesantren. Inilah babak baru sistem pendidikan nasional di mana pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini disebutkan secara eksplisit dan diakui secara tegas sebagai komponen pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal ini tidaklah berlebihan bila Maftuh Basyuni sebagai menteri agama melontar statemen, “sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan.” .Bahkan Basyuni mengakui mempunyai dosa besar terhadap pesantren.

Kurikulum yang merupakan faktor fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan secara khusus diatur dalam Bab X. Pendidikan agama kembali mendapat perhatian besar bahkan dominan dalam pengaturan kurikulum ini. Perihal prinsip-prinsip penyusunan kurikulum, peningkatan iman dan takwa serta peingkatan akhlak mulia dan agama ditempatkan sebagai prinsip paling atas. Sebagai dimaklumi, iman, takwa, dan akhlak adalah istilah-istilah yang diadopsi dari bahasa agama dan karenanya ia sangat identik dengan pendidikan agama. Dengan demikian pasal ini pun dapat diartikan sebagai religiusitas yang mewarnai undang-undang ini, terlebih secara eksplisit pasal ini juga mengamanatkan agama sebagai hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum.

Pendidikan agama kemudian menjadi semakin kuat eksistensinya dalam UU Sisdiknas ini dengan keharusan pendidikan agama masuk dalam muatan kurikulum semua jenjang pendidikan dari mulai dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi. Namun demikian, pasal ini mengandung kelemahan konsep. Kelemahan atau kekeliruan konsep ini terletak pada penyamaan pendidikan dengan sekolah. Padahal sekolah hanya merupakan bagian kecil dari pendidikan. Ada pun pendidikan itu sendiri mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari analisis ini dapat dikritisi bahwa maksud pendidikan agama sebagai muatan wajib kurikulum adalah mata pelajaran agama atau pengajaran agama. Karena pendidikan agama dalam arti yang sesungguhnya tidak mungkin dipikulkan pada sekolah.

READ MORE - PENDIDIKAN ISLAM DAL;AM SISDIKNAS (Part Four)

PENDIDIKAN ISLAM DAL;AM SISDIKNAS (Part Three)

SEJARAH UU SISDIKNAS DAN PENDIDIKAN AGAMA

Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.

Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, Undang-Undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional. Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut, yaitu pada 1) konsideran “menimbang”, 2) Bab I tentang Ketentuan Umum, 3) Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional, 4) Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik, 5) Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar, 6) Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah, 7) Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal, 8) Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan, 9) Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum, 10) Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar, 11) Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12) Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.


READ MORE - PENDIDIKAN ISLAM DAL;AM SISDIKNAS (Part Three)

PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS (Part Two)

Kontroversi Seputar Sisdiknas
Rata Penuh
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.

Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.

Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasiona, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.

Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar UU Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya UU Sisdiknas, sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks ini lah penulis melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2008 memiliki urgensi dan signifikansi yang besar.

READ MORE - PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS (Part Two)