SEJARAH UU SISDIKNAS DAN PENDIDIKAN AGAMA
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, Undang-Undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.
Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional. Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut, yaitu pada 1) konsideran “menimbang”, 2) Bab I tentang Ketentuan Umum, 3) Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional, 4) Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik, 5) Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar, 6) Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah, 7) Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal, 8) Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan, 9) Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum, 10) Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar, 11) Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12) Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar