A. Tanggung Jawab Sekolah
Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu Muhamad saw, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamnya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemankan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhamad saw, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, dengan tesis pendidikan adalah pembudayaan, juga ingin menyampaikan hal yang sama dengan tokoh-tokoh pendidikan di atas. Menurutnya, pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Sementara Mardiatmadja menyebut pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia.
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas ingin menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap jaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang dsepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan. Bila pendidikan senyatanya bertujuan seluhur itu, lalu bagaimana dengan implementasi dan realitas yang terjadi? Sejalan kah usaha-usaha pendidikan yang terjadi selama ini dengan tujuan mulianya? Ini lah yang mengusik banyak para pakar kelas dunia, sehingga bermunculan lah berbagai tawaran pendidikan alternatif. Hal yang paling menggelisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah kenyataan bahwa kompetensi yang ditampilkan para siswa sebagai out put pendidikan sangat kontradiktif dengan tujuan pendidikan.Dalam konteks keindonesiaan, pemandangan berikut ini menegaskan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Berita bahwa beberapa gadis SMU telah menjadi "anak ayam" dimana guru menjadi mucikarinya di sebuah SMU di Cirebon telah membuat heboh masyarakat Indonesia belakangan ini. Bahkan mereka melakukan tindakan yang amoral lagi. Dan, menurut banyak berita, banyak siswi SMU di berbagai kota besar, ternyata berprofesi ganda, bukan hanya sebagai siswi, tetapi juga pelacur kelas atas. Aspek kesucian hidup dan pergaulan sudah disisihkan ke tong sampah, sepertinya. Berbagai macam psikotropika dan narkotika juga begitu banyak beredar di kalangan anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli juga adalah orang-orang yang masih berstatus siswa. Mereka menjadi pengedar dan sekaligus juga pengguna. Kehidupan yang rusak seperti ini kerapkali disertai dengan berbagai pesta yang berujung pada tindakan amoral di kalangan remaja. Anak-anak remaja ini tidak lagi mempertimbangkan rasa takut untuk hidup rusak, merusak nama baik keluarga dan masyarakatnya. Berbagai tawuran anak sekolah juga telah membuat resah masyarakat di berbagai tempat di beberapa kota besar di Indonesia. Bahkan, kejadian-kejadian sejenis seringkali sulit diatasi oleh pihak sekolah sendiri, sampai-sampai melibatkan aparat kepolisian dan berujung dengan pemenjaraan, karena merupakan tindakan kriminal yang bisa merenggut nyawa. Sepertinya nyawa manusia tidak ada harganya, hidup itu begitu murah dan rendah nilainya. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat. Daftar ini masih bisa terus diperpanjang dengan berbagai kasus lainnya, seperti pemerasan siswa terhadap siswa lain, kecurangan dalam ujian, dan berbagai tindakan yang tidak mencerminkan moral siswa yang baik. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah hal seperti demikian lepas dari tanggung jawab sekolah sebagai institusi pendidikan?
Marvin W. Berkowitz dan Melinda C. Bier menyebutkan pandangan bahwa sekolah seharusnya fokus pada prestasi akademik (academic achievement) telah diterima secara luas. Pandangan inilah yang membuat sekolah sebagai institusi pendidikan abai terhadap pembentukan karakter siswa. Padahal, sekolah yang dalam ilmu sosiologi diposisikan sebagai media sosialisasi ke dua setelah keluarga, mempunyai peran yang besar dalam mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam pembentukan kepribadiannya. Pemikiran ini memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas, bahwa sekolah ikut bertanggung terhadap kegagalan pembentukan karakter di kalangan para siswanya. Jawaban ini bukan upaya mengkambinghitamkan sekolah, karena memang tanggung jawab utama pembentukan karakter sebenarnya terletak pada keluarga. Namun sekolah sebagai institusi pendidikan yang pendidikan itu sendiri adalah pembudayaan, tidak dapat menghindarkan diri dari upaya pembentukan karakter positif bagi anak didiknya. Dalam laporan tahunan Character Education Partneship bahkan disebutkan, bahwa pendidikan karakter bagi sekolah bukan lagi sebagai sebuah opsi, tetapi suatu keharusan yang tak terhindarkan.
Kesimpulan yang dapat ditarik paparan di atas adalah fakta bahwa banyak siswa sebagai produk pendidikan di sekolah tidak menampakkan kualitas moral dan karakter yang baik. Dalam hal ini, sekolah memiliki tanggung jawab dan peran besar dalam menolong maupun mencegah hal tersebut. Maka pertanyaan berikutnya adalah: Bisakah pendidikan karakter menjadi prioritas di sekolah?
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar